RENOVASI MASJID
RENOVASI MASJID
Soal ke 15
Derek tanglet.
Di suatu daerah ada sebuah masjid yang mengalami 2X renovasi, renovasi pertama pada tahun 1988 dan renovasi kedua pada tahun 2018, dalam proses renovasi pertama material yang di gunakan berasal dari jariah masyarakat sekitar, kayu perhutani, dan sebagian genteng atap yang berasal dari uang pemerintah desa, semuanya berjalan lancar, namun permasalahan mulai muncul ketika renovasi kedua di laksanakan, pasalnya panitia renovasi kedua mendapat berita bahwa :
1. kayu yang berasal dari perhutani tersebut penebangannya tanpa izin
2. Sebagian genting atap yang berasal dari pemerintah seharusnya alokasi dana tersebut bukan untuk masjid melainkan dana bergulir untuk menunjang perekonomian masyarakat miskin.
3. Banyaknya sisa-sisa renovasi, mulai dari pecahan genteng, sisa potongan kayu, pasir, koral dan bahan-bahan material lainnya.
Pertanyaan :
1. Apa setatus kayu dan genteng atap tersebut ..? dan kemanakah tasarufnya ?
2. Bagaimana cara memilah antara genteng atap hasil jariah dan genteng atap dari pemerintah desa, mengingat genteng atap tersebut sudah menjadi satu ?
3. Apa yang harus dilakukan panitia untuk metasyarufkan sisi-sisa renovasi tersebut ? dan bolehkah sisa kayu di bakar dan debunya di tanam di halaman masjid?
Sail : Abdul Rokhim Lumbang
Jawab.
1. Setatus kayu perhutani yang di tebang tanpa ada izin dari pihak berwenang masuk dalam katagori barang curian yang di haramkan, Namun si pencuri tidak boleh di potong tangannya karena adanya unsur Shubhat milik.
Dan apabila kayu tersebut di gunakan sebagai bangunan masjid maka setatus hukumnya tidak akan berubah menjadi wakaf masjid, dan Konsekwensi yang harus di tanggung oleh pelaku penebangan ilegal ini adalah: mengembalikanNya pada pihak pemerintah terkait jika barangnya masih ada, dan jika barangnya sudah rusak maka wajib mengembalikan Qimah /harganya (tentunya harga yg termahal semenjak pencurian terjadi hingga masa pengembalian).
Wajib mengembalikan diatas apabila pemerintah terkait adalah orang-orang yang Amiin/adil (tidak fasik)
Mengingat kondisi pemerintah belum terjamin sifat amanahnya, dan apabila mengembalikan kayu pada pemerintah sangat rawan di selewengkan, maka sebagai Solusi Pengurusan kayu adalah : di serahkan pada Shulaha-ul balad (Tokoh masyarakat) untuk mengadakan rapat konsultasi guna membahas langkah- langkah yang paling mashlahat bagi kepentingan umum, jika masjid yang paling membutuhkan-Nya maka salurkan pada masjid, jika madrasah yg paling membutuhkan-Nya salurkan pada madrasah, jika musholla yg paling membutuhkannya salurkan pada musholla, demikian seterusnya, Fal ahamm tsummal Ahamm.
*اسعاد الرفيق* ٢/ ٩٧
ومنها السرقة وهي أخذ المال خفية وهي من الكبائر …الى أن قال….. *والظاهر أنه لا فرق بين في كونها كبيرة بين الموجبة للقطع وغيرها اذا كانت لا تحل كأن سرق حصر مسجد فإنه يحرم لكن لا قطع بها لأن له فيها حقا*
*الموسوعة الفقهية الكويتية*
*اﻻﻋﺘﺪاء ﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮاﻝ ﺑﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ: ﻻ ﺧﻼﻑ ﺑﻴﻦ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﻓﻲ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺃﺗﻠﻒ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺃﻣﻮاﻝ ﺑﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ ﺑﻐﻴﺮ ﺣﻖ ﻛﺎﻥ ﺿﺎﻣﻨﺎ ﻟﻤﺎ ﺃﺗﻠﻔﻪ، ﻭﺃﻥ ﻣﻦ ﺃﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﺑﻐﻴﺮ ﺣﻖ ﻟﺰﻣﻪ ﺭﺩﻩ، ﺃﻭ ﺭﺩ ﻣﺜﻠﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺜﻠﻴﺎ، ﻭﻗﻴﻤﺘﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻗﻴﻤﻴﺎ*
ﻭﺇﻧﻤﺎ اﻟﺨﻼﻑ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻓﻲ ﻗﻄﻊ ﻳﺪ اﻟﺴﺎﺭﻕ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ، ﻭﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ اﺗﺠﺎﻫﺎﻥ:
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ – ﻭﺇﻟﻴﻪ ﺫﻫﺐ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻭاﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭاﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ: ﺃﻥ اﻟﺴﺎﺭﻕ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ ﻻ ﺗﻘﻄﻊ ﻳﺪﻩ
ﻭﻣﻨﻬﺎ : ﻟﻮ ﻣﻨﻊ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺣﻖ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ، ﻓﻈﻔﺮ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﺑﻤﺎﻝ ﻟﺒﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ، ﻓﻘﺪ ﺃﺟﺎﺯ ﺑﻌﺾ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬ اﻟﻤﺴﺘﺤﻖ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﻄﻴﻪ اﻹﻣﺎﻡ. ﻭﻫﺬا ﺃﺣﺪ ﺃﻗﻮاﻝ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺫﻛﺮﻫﺎ اﻟﻐﺰاﻟﻲ
ﺛﺎﻧﻴﻬﺎ : ﺃﻥ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻗﺪﺭ ﻗﻮﺗﻪ
ﻭﺛﺎﻟﺜﻬﺎ : ﻳﺄﺧﺬ ﻛﻔﺎﻳﺔ ﺳﻨﺘﻪ
ﻭﺭاﺑﻌﻬﺎ : ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﺷﻴﺌﺎ ﻟﻢ ﻳﺆﺫﻥ ﻟﻪ ﻓﻴﻪ
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻓﻘﺪ ﺻﺮﺣﻮا ﺑﺄﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ اﻟﺴﺮﻗﺔ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ، ﺳﻮاء اﻧﺘﻈﻢ ﺃﻡ ﻟﻢ ﻳﻨﺘﻈﻢ
ﻭﻳﻔﻬﻢ ﻣﻦ ﻫﺬا ﺃﻧﻬﻢ ﻳﻮاﻓﻘﻮﻥ اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺮاﺑﻊ ﻣﻦ اﻷﻗﻮاﻝ اﻟﺘﻲ ﻧﻘﻠﻬﺎ اﻟﻐﺰاﻟﻲ
ﻭﻣﻔﺎﺩ ﻣﺎ ﻳﺬﻛﺮﻩ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ: ﺃﻥ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺗﻠﻚ اﻟﺤﺎﻝ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﻗﺪﺭ ﺣﻘﻪ ﺩﻳﺎﻧﺔ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ اﻷﺧﺬ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺑﻴﺘﻪ اﻟﺬﻱ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﻫﻮ ﻣﻨﻪ ﺇﻻ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻧﻨﺎ؛ ﺇﺫ ﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﺃﺧﺬﻩ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺑﻴﺘﻪ ﻟﺰﻡ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﺣﻖ ﻷﺣﺪ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻧﻨﺎ؛ ﻟﻌﺪﻡ ﺇﻓﺮاﺯ ﻛﻞ ﺑﻴﺖ ﻋﻠﻰ ﺣﺪﺓ، ﺑﻞ ﻳﺨﻠﻄﻮﻥ اﻟﻤﺎﻝ ﻛﻠﻪ. ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﺎ ﻇﻔﺮ ﺑﻪ ﻟﻢ ﻳﻤﻜﻨﻪ اﻟﻮﺻﻮﻝ ﺇﻟﻰ ﺷﻲء، ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ اﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ
ﺃﺭﺽ ﺑﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ ﺗﺠﺮﻱﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﺣﻜﺎﻡ اﻟﻮﻗﻮﻑ اﻟﻤﺆﺑﺪﺓ. ﻓﺘﺆﺟﺮ ﻛﻤﺎ ﻳﺆﺟﺮ اﻟﻮﻗﻒ ﻭاﻟﺤﻜﻢ ﻛﺬﻟﻚ ﻋﻨﺪ اﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻓﻲ ﺃﺭﺽ اﻟﻌﻨﻮﺓ اﻟﻌﺎﻣﺮﺓ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺇﻗﻄﺎﻋﻬﺎ ﺗﻤﻠﻴﻜﺎ، ﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻬﺎ ﺗﻜﻮﻥ ﻭﻗﻔﺎ ﺑﻨﻔﺲ اﻻﺳﺘﻴﻼء ﻋﻠﻴﻬﺎ
المجموع ٩/٣٥١
(ﻓﺮﻉ)
ﻗﺎﻝ اﻟﻐﺰاﻟﻲ ﺇﺫا ﻭﻗﻊ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ ﻣﺎﻝ ﺣﺮاﻡ ﻣﻦ ﻳﺪ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻗﻮﻡ ﻳﺮﺩﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻓﻬﻮ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﻤﺎ ﻳﻤﻠﻚ ﻭﻻ ﻳﺘﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﻭاﺧﺘﺎﺭ اﻟﺤﺎﺭﺙ اﻟﻤﺤﺎﺳﺒﻲ ﻫﺬا ﻭﻗﺎﻝ ﺁﺧﺮﻭﻥ ﻳﺘﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﺇﺫا ﻋﻠﻢ ﺃﻥ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻻ ﻳﺮﺩﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﻷﻥ ﺭﺩﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺗﻜﺜﻴﺮ ﻟﻠﻈﻠﻢ ﻗﺎﻝ اﻟﻐﺰاﻟﻲ ﻭاﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﺃﻧﻪ ﺇﻥ ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺮﺩﻩ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻟﻜﻪ ﻓﻴﺘﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻜﻪ (ﻗﻠﺖ) اﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﺃﻧﻪ ﺇﻥ ﻋﻠﻢ ﺃﻥ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻳﺼﺮﻓﻪ ﻓﻲ ﻣﺼﺮﻑ ﺑﺎﻃﻞ ﺃﻭ ﻇﻦ ﺫﻟﻚ ﻇﻨﺎ ﻇﺎﻫﺮا ﻟﺰﻣﻪ ﻫﻮ ﺃﻥ ﻳﺼﺮﻓﻪ ﻓﻲ ﻣﺼﺎﻟﺢ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﺜﻞ اﻟﻘﻨﺎﻃﺮ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻓﺈﻥ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﺃﻭ ﺷﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﻟﺨﻮﻑ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ ﺗﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ اﻷﺣﻮﺝ ﻓﺎﻷﺣﻮﺝ ﻭﺃﻫﻢ اﻟﻤﺤﺘﺎﺟﻴﻦ ﺿﻌﺎﻑ ﺃﺟﻨﺎﺩ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻈﻦ ﺻﺮﻑ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺇﻳﺎﻩ ﻓﻲ ﺑﺎﻃﻞ ﻓﻠﻴﻌﻄﻪ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﻭ ﺇﻟﻰ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﺇﻥ ﺃﻣﻜﻨﻪ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺿﺮﺭ ﻷﻥ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺃﻋﺮﻑ ﺑﺎلمصالح اﻟﻌﺎﻣﺔ ﻭﺃﻗﺪﺭ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﺈﻥ ﺧﺎﻑ ﻣﻦ اﻟﺼﺮﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺿﺮﺭا ﺻﺮﻓﻪ ﻫﻮ ﻓﻲ اﻟﻤﺼﺎﺭﻑ اﻟﺘﻲ ﺫﻛﺮﻧﺎﻫﺎ ﻓﻴﻤﺎ ﺇﺫا ﻇﻦ ﺃﻧﻪ ﻳﺼﺮﻓﻪ ﻓﻲ ﺑﺎﻃﻞ
الفتاوى الكبرى الفقهية ٣/٩٧
ﻭﺳﺌﻞ) ﻋﻦ ﻣﻐﺼﻮﺏ ﺗﺤﻘﻖ ﺟﻬﻞ ﻣﺎﻟﻜﻪ ﻫﻞ ﻫﻮ ﺣﺮاﻡ ﻣﺤﺾ ﺃﻭ ﺷﺒﻬﺔ ﻭﻫﻞ ﻳﺤﻞ اﻟﺘﺼﺮﻑ ﻓﻴﻪ ﻛﺎﻟﻠﻘﻄﺔ ﺃﻭ ﻛﻐﻴﺮﻫﺎ ؟
ﻓﺄﺟﺎﺏ) ﺑﻘﻮﻟﻪ ﻻ ﻳﺤﻞ اﻟﺘﺼﺮﻑ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﺩاﻡ ﻣﺎﻟﻜﻪ ﻣﺮﺟﻮ اﻟﻮﺟﻮﺩ ﺑﻞ ﻳﻮﺿﻊ ﻋﻨﺪ ﻗﺎﺽ ﺃﻣﻴﻦ ﺇﻥ ﻭﺟﺪ ﻭﺇﻻ ﻓﻌﺎﻟﻢ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﺈﻥ ﺃﻳﺲ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﻣﺎﻟﻜﻪ ﺻﺎﺭ ﻣﻦ ﺟﻤﻠﺔ ﺃﻣﻮاﻝ ﺑﻴﺖ اﻟﻤﺎﻝ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ اﻟﻤﻬﺬﺏ ﻓﺈﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﻣﻠﺨﺼﻪ ﻣﻦ ﻣﻌﻪ ﻣﺎﻝ ﺣﺮاﻡ ﻭﺃﻳﺲ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﻣﺎﻟﻜﻪ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻭاﺭﺙ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺼﺮﻓﻪ ﻓﻲ المصالح اﻟﻌﺎﻣﺔ ﻛﺎﻟﻘﻨﺎﻃﺮ ﻭاﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﺇﻻ ﻓﻴﺘﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﻓﻘﻴﺮ ﺃﻭ ﻓﻘﺮاء.
ﻭﻳﺘﻮﻟﻰ ﺻﺮﻓﻪ اﻟﻘﺎﺿﻲ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻔﻴﻔﺎ ﻭﺇﻻ ﺣﺮﻡ اﻟﺘﺴﻠﻴﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺿﻤﻨﻪ اﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﻞ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺤﻜﻢ ﺭﺟﻼ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﻠﺪ ﺩﻳﻨﺎ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻓﺈﻥ ﻓﻘﺪ ﺗﻮﻻﻩ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﻭﺃﺧﺬ اﻟﻔﻘﻴﺮ ﻟﻠﻤﺪﻓﻮﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺣﻼﻝ ﻃﻴﺐ ﻭﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺘﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻋﻴﺎﻟﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﻮا ﻓﻘﺮاء ﻭاﻟﻮﺻﻒ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻓﻴﻬﻢ ﺑﻞ ﻫﻢ ﺃﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﻳﺘﺼﺪﻕ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﻗﺪﺭ ﺣﺎﺟﺘﻪ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻘﻴﺮ ﻛﺬا ﺫﻛﺮﻩ اﻷﺻﺤﺎﺏ ﻭﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭاﻟﺤﺎﺭﺙ اﻟﻤﺤﺎﺳﺒﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻮﺭﻉ؛ ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺇﺗﻼﻑ اﻟﻤﺎﻝ ﻭﻻ ﺭﻣﻴﻪ ﻓﻲ اﻟﺒﺤﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﺒﻖ ﺇﻻ ﻣﺼﺎﻟﺢ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ. اﻩـ.
Untuk genteng yang pembeliannya dari uang jariyah yang sudah tercampur dengan genteng yg pembelianya dari uang Subsidi rakyat miskin, itu sdh menjadi Hak masjid, hanya saja uang subsidi utk rakyat miskin tsb harus di kembalikan ke pemerintah agar di salurkan kembali.
ﻭﻟﻮ ﺧﻠﻂ اﻟﻤﻐﺼﻮﺏ) ﺃﻭ اﺧﺘﻠﻂ ﻋﻨﺪﻩ (ﺑﻐﻴﺮﻩ) ﻛﺒﺮ ﺃﺑﻴﺾ ﺑﺄﺳﻤﺮ ﺃﻭ ﺑﺸﻌﻴﺮ ﻭﻛﻐﺰﻝ ﺳﺪﻯ ﻧﺴﺠﻪ ﺑﻠﺤﻤﺘﻪ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻭﺷﻤﻞ ﻛﻼﻣﻬﻢ ﺧﻠﻄﻪ ﺃﻭ اﺧﺘﻼﻃﻪ ﺑﺎﺧﺘﺼﺎﺹ ﻛﺘﺮاﺏ ﺑﺰﺑﻞ (ﻭﺃﻣﻜﻦ اﻟﺘﻤﻴﻴﺰ) ﻟﻠﻜﻞ ﺃﻭ ﻟﻠﺒﻌﺾ (ﻟﺰﻣﻪ ﻭﺇﻥ ﺷﻖ) ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻴﺮﺩﻩ ﻛﻤﺎ ﺃﺧﺬﻩ (ﻭﺇﻥ ﺗﻌﺬﺭ) اﻟﺘﻤﻴﻴﺰ ﻛﺨﻠﻂ ﺯﻳﺖ ﺑﻤﺜﻠﻪ ﺃﻭ ﺷﻴﺮﺝ ﻭﺑﺮ ﺃﺑﻴﺾ ﺑﻤﺜﻠﻪ ﻭﺩﺭاﻫﻢ ﺑﻤﺜﻠﻬﺎ (ﻓﺎﻟﻤﺬﻫﺐ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻟﺘﺎﻟﻒ) ﻋﻠﻰ ﺇﺷﻜﺎﻻﺕ ﻓﻴﻪ ﻳﻌﻠﻢ ﺭﺩﻫﺎ ﻣﻤﺎ ﻳﺄﺗﻲ (ﻓﻠﻪ ﺗﻐﺮﻳﻤﻪ) ﺑﺪﻟﻪ، ﺧﻠﻄﻪ ﺑﻤﺜﻠﻪ ﺃﻭ ﺑﺄﺟﻮﺩ ﺃﻭ ﺑﺄﺭﺩﺃ؛ ﻷﻧﻪ ﻟﻤﺎ ﺗﻌﺬﺭ ﺭﺩﻩ ﺃﺑﺪا ﺃﺷﺒﻪ اﻟﺘﺎﻟﻒ ﻓﻴﻤﻠﻜﻪ اﻟﻐﺎﺻﺐ ﺇﻥ ﻗﺒﻞ اﻟﺘﻤﻠﻚ، *ﻭﺇﻻ ﻛﺘﺮاﺏ ﺃﺭﺽ ﻣﻮﻗﻮﻓﺔ ﺧﻠﻄﻪ ﺑﺰﺑﻞ ﻭﺟﻌﻠﻪ ﺁﺟﺮا ﻏﺮﻡ ﻣﺜﻠﻪ ﻭﺭﺩ اﻵﺟﺮ ﻟﻠﻨﺎﻇﺮ* ﻭﻻ ﻧﻈﺮ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﺰﺑﻞ؛ ﻷﻧﻪ اﺿﻤﺤﻞ ﺑﺎﻟﻨﺎﺭ ﻛﺬا ﺫﻛﺮﻩ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻭﻣﻊ ﻣﻠﻜﻪ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻳﺤﺠﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻴﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺩ ﻣﺜﻠﻪ ﻟﻤﺎﻟﻜﻪ ﻋﻠﻰ اﻷﻭﺟﻪ ﻭﻳﻜﻔﻲ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻯ اﻟﻤﺼﻨﻒ ﺃﻥ ﻳﻌﺰﻝ ﻣﻦ اﻟﻤﺨﻠﻮﻁ ﺃﻱ ﺑﻐﻴﺮ اﻷﺭﺩﺃ ﻗﺪﺭ ﺣﻖ اﻟﻤﻐﺼﻮﺏ
(ﻗﻮﻟﻪ ﻛﺘﺮاﺏ ﺃﺭﺽ ﻣﻮﻗﻮﻓﺔ ﺇﻟﺦ) ﺃﻓﻬﻢ ﺃﻥ ﺗﺮاﺏ اﻟﻤﻤﻠﻮﻛﺔ ﺇﺫا ﺧﻠﻄﻪ ﻳﻤﻠﻜﻪ اﻟﻐﺎﺻﺐ ﺑﺨﻠﻄﻪ ﻭﺇﻥ ﺟﻌﻠﻪ ﺁﺟﺮا ﻓﻼ ﻳﺮﺩﻩ ﻟﻤﺎﻟﻜﻪ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﺮﺩ ﻣﺜﻞ اﻟﺘﺮاﺏ. اﻩـ ﻋ ﺷ
حشيتا قليوبي وعميرة الجزء ٩ ص ١٠١
فرع قال الماوردي لو ادرج حجرا مغصوبا في منارة مسجد نقضت وعليه غرم نقضها للمسجد وإن كان هو المتطوع بالبناء لأنها خرجت عن ملكه ببنائها للمسجد اه فانظره مع ما قبله وما بعده إلا أن يحمل علي هدم ما جاور الحجر منها فراجعه
3. Kayu perhutani yang tidak tercampur dengan kayu yang lain harus di kembalikan pada pihak pemerintah yang berwenang berikut uang ganti ruginya.
Wajib mengembalikan diatas apabila pemerintah terkait adalah orang yang AMIN (tidak fasik)
Tapi apabila pemerintah terkait adalah orang yang fasik, yang sangat dimumkinkan akan menyelewengkan barang yang akan di serahkan padanya, atau apabila melapor dan mengembalikan barang tsb akan dikhawatirkan adanya dloror yang menimpa pada para pelaku, maka tidak perlu dikembalikan, kayu tersebut di serahkan pada shulaha’ul balad, guna menentukan mana yang lebih memerlukan, baik itu masjid atau yang lain.
Untuk genteng yg pembeliannya dari uang jariyah yang sudah tercampur dengan genteng yg pembelianNya dari uang Subsidi rakyat miskin, (sebagaimana keterangan dalam poin satu di atas) yaitu sdh menjadi Hak masjid, hanya saja uang subsidi rakyat miskin tsb harus di kembalikan ke pemerintah agar di salurkan kembali.
Terkait sisa bongkaran masjid dengan latarbelakang dan kronologi sebagaimana diskripsi di atas, ada beberapa pandangan ulama’ di antaranya sebagai berikut
1). Menurut Mufti Tarim Syeikh Abubakar bin Achmad Khotib: Boleh di jual apabila masjid yg bersangkutan sudah tidak membutuhkannya lagi meski di masa mendatang, dengan catatan :
a). Hawatir terbengkalainya sisa bongkaran tsb. atau
b). Hawatir di ambil oleh orang yang dholim.
2). Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik tidak boleh dijual dan barang-barang yang masih dapat digunakan, diberikan kepada masjid lain yang membutuhkan.
3). Menurut Imam Ahmad boleh dijual dan uang hasil penjualan digunakan untuk membeli barang yang sama.
Menurut pendapat ‘Ashoh’ adalah diperbolehkannya menjual karpet-karpet masjid jika bendanya telah rusak, robek atau hampir robek dan tidak layak kecuali untuk dibakar. Agar tidak sia-sia begitu saja, maka mendapatkan sedikit pemasukan (dari penjualan diatas) yang dimasukkan (ke dalam kas) wakaf, tentu lebih baik. Dan hal ini dikecualikan dari (larangan) penjualan benda wakaf, karena dihukumi seolah tidak ada.
Referensi:
3). Menurut Imam Ahmad boleh dijual dan uang hasil penjualan digunakan untuk membeli barang yang sama.
Menurut pendapat ‘Ashoh’ adalah diperbolehkannya menjual karpet-karpet masjid jika bendanya telah rusak, robek atau hampir robek dan tidak layak kecuali untuk dibakar. Agar tidak sia-sia begitu saja, maka mendapatkan sedikit pemasukan (dari penjualan diatas) yang dimasukkan (ke dalam kas) wakaf, tentu lebih baik. Dan hal ini dikecualikan dari (larangan) penjualan benda wakaf, karena dihukumi seolah tidak ada.
Referensi:
مواهب الفضل بفتوى بافضل الجزء ١ ص : ٢٢٨
وَسُئِلَ الْعَلاَّمَةُ الشَّيْخُ أَبُوْ بَكَرِ ابْنُ أَحْمَدَ الْخَطِيْبُ مُفْتِيْ تَرِيْم عَمَّا بَقِيَ فَتَاتُ النَّوْرَةِ وَالطِّيْنِ وَاْلأَخْشَابِ بَعْدَ الْهَدْمِ فَأَجَابَ بِجَوَابٍ طَوِيْلٍ مَالَ بِهِ إِلَى جَوَازِ بَيْعِهَا إِذَا لَمْ تَظْهَرْ حَاجَةٌ لَهَا لِلْمَسْجِدِ الْمَذْكُوْرِ وَلَوْ فِي الْمُسْتَقْبَلِ وَخِيْفَ ضِيَاعَهُ أَوْ أَخَذَ ظَالِمٌ أَوْ غَاصِبٌ لَهَا عَمَّا إِذَا لَمْ يُخْشَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فَتُحْفَظُ إِلَى آخِرِمَا أَطَالَ بِهِ رَحِمَ اللهُ اهـ نَصُّ الْوَارِدِ فِيْ حُكْمِ تَجْدِيْدِ الْمَسْجِدِ لِلْعَلاَّمَةِ عَلَوِي ابْنِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ حُسَيْنٍ – إلى أن قال- ثُمَّ اخْتَلَفُوْا فِيْ جَوَازِ بَيْعِهِ وَصَرْفِ ثَمَنِهِ فِيْ مِثْلِهِ وَإِنْ كَانَ مَسْجِدًا فَقَالَ الْمَالِكُ وَالشَّافِعِيُّ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ وَلاَ يُبَاعُ وَقَالَ أَحْمَدُ يَجُوْزُ بَيْعُهُ وَصَرْفُ ثَمَنِهِ فِيْ مِثْلِهِ وَكَذَلِكَ فِي الْمَسْجِدِ إِذَا كَانَ لاَيُرْجَى عَوْدُهُ وَلَيْسَ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ نَصٌّ فِيْهَا اهـ
في سم ما نصه، الذي اعتمده شيخنا الشهاب الرملي أنه إن توقع عوده حفظ، وإلا صرفه لاقرب المساجد، وإلا فللاقرب إلى الواقف، وإلا فللفقراء والمساكين أو مصالح المسلمين
هامش الشرواني جزء ٦ ًص ٢٨٢
وَالْأَصَحُّ جَوَازُ بَيْعِ حُصْرِ الْمَسْجِدِ إذَا بَلِيَتْ وَجُذُوعِهِ إذَا انْكَسَرَتْ ) ، أَوْ أَشْرَفَتْ عَلَى الِانْكِسَارِ ( وَلَمْ تَصْلُحْ إلَّا لِلْإِحْرَاقِ ) لِئَلَّا تَضِيعَ فَتَحْصِيلُ يَسِيرٍ مِنْ ثَمَنِهَا يَعُودُ عَلَى الْوَقْفِ أَوْلَى مِنْ ضَيَاعِهَا وَاسْتُثْنِيَتْ مِنْ بَيْعِ الْوَقْفِ ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ كَالْمَعْدُومَةِ وَيُصْرَفُ ثَمَنُهَا لِمَصَالِحِ الْمَسْجِدِ… الى ان قال… وَالْخِلَافُ فِي الْمَوْقُوفَةِ وَلَوْ بِأَنْ اشْتَرَاهَا النَّاظِرُ وَوَقَفَهَا بِخِلَافِ الْمَمْلُوكَةِ لِلْمَسْجِدِ بِنَحْوِ شِرَاءِ فَإِنَّهَا تُبَاعُ جَزْمًا
حاشية اعانة الطالبين للسيد جزء ٣ ص ١٨١
ولايعمر به غير جنسه كرباط وبـئر كالعكس الا اذا تعذر جنسه ( قوله ولا يعمر به غير جنسه ) اى ولا يعمر بالنقض ما هو من غير جنس المسجد وقوله كالرباط وبئر تمثيل لغير جنس المسجد وقوله كالعكس هوان لا يعمر بنقض الرباط والبئر غير الجنس كالمسجد ( قوله الا اذا تعذر ) أي فانه يعمر به غير الجنس اهـ
Komentar
Posting Komentar